Perbedaan Tragis Thalaikoothal dan Ubasute di Asia
Di berbagai kebudayaan Asia, kisah tentang praktik membuang atau menghabisi orang tua yang dianggap tak lagi berguna kerap muncul, salah satunya lewat tradisi kelam bernama Thalaikoothal di India dan Ubasute di Jepang. Keduanya adalah bentuk senisida atau euthanasia involunter, tapi memiliki asal-usul, metode, dan latar sosial yang sangat berbeda. Tradisi ini menyisakan luka sejarah yang masih menyentuh diskusi etika di masa modern.
Thalaikoothal berasal dari wilayah pedesaan di selatan Tamil Nadu, India. Secara harfiah berarti “mandi kepala” dalam bahasa Tamil, namun praktiknya justru lebih mengerikan. Orang tua yang telah dianggap merepotkan atau terlalu sakit biasanya akan dimandikan dengan minyak, lalu dipaksa meminum air kelapa muda dalam jumlah banyak, yang bisa menyebabkan gagal ginjal. Kadang-kadang, kepala mereka disiram air dingin untuk menurunkan suhu tubuh hingga menyebabkan serangan jantung.
Metode lain dalam Thalaikoothal termasuk menyumbat hidung sambil memaksa korban menelan susu sapi, hingga pernapasan terhambat dan akhirnya meninggal. Beberapa kasus bahkan melibatkan racun. Meskipun ilegal di India, praktik ini tetap berlangsung secara sembunyi-sembunyi, dan dalam beberapa kasus, korban justru pasrah karena merasa tak ingin menjadi beban keluarga.
Sebaliknya, Ubasute merupakan kisah legendaris dari Jepang zaman dulu, yang berarti “meninggalkan nenek di gunung”. Dalam cerita rakyat, orang tua dibawa oleh anak-anaknya ke pegunungan atau hutan belantara saat mereka sudah renta, lalu ditinggalkan hingga meninggal karena cuaca dingin atau kelaparan. Praktik ini diyakini terjadi di masa paceklik ekstrem ketika sumber pangan tak mencukupi.
Tak seperti Thalaikoothal yang dilakukan dalam kerangka domestik di dalam rumah, Ubasute melibatkan pengasingan ke alam liar. Dalam banyak versi kisah, orang tua rela mengikuti karena memahami kondisi ekonomi keluarga yang terpuruk. Sebagian cerita rakyat Jepang menggambarkan kisah haru, ketika anak tak tega dan membatalkan niatnya, atau si ibu diam-diam meninggalkan ranting sepanjang jalan agar anaknya bisa menemukan jalan pulang.
Dari sisi sosial, Thalaikoothal masih terjadi secara aktual di beberapa distrik India sampai era modern, meski secara hukum telah dilarang. Pemerintah India berulang kali melakukan kampanye penyadaran tentang nilai hidup lanjut usia dan mengimbau warga untuk melaporkan kejadian semacam ini. Beberapa kasus terungkap setelah korban berhasil melarikan diri atau pihak ketiga mengetahui rencana keluarga.
Sementara itu, Ubasute lebih banyak tercatat sebagai legenda daripada fakta sejarah. Tak ada bukti arkeologis atau catatan resmi yang membenarkan praktik ini pernah berlangsung secara sistematis. Namun, kisah Ubasute sering dipakai sebagai peringatan moral tentang pentingnya merawat orang tua dalam budaya Jepang hingga sekarang.
Dari sudut metode, Thalaikoothal lebih mengandalkan metode medis tradisional seperti air kelapa, susu, minyak, dan air dingin yang bisa mengakibatkan kematian perlahan dalam satu hingga dua hari. Sedangkan Ubasute lebih ke cara membiarkan orang tua menyerah pada alam. Ini membuat Thalaikoothal terkesan lebih kejam karena dilakukan langsung oleh tangan keluarga, sementara Ubasute melibatkan alam sebagai “algojo”.
Keduanya lahir dari konteks sosial dan ekonomi berbeda. Thalaikoothal berkaitan dengan kemiskinan pedesaan di India modern, di mana orang tua dianggap beban finansial. Sebaliknya, Ubasute diyakini muncul di masa-masa kelaparan Jepang zaman feodal, saat satu mulut tambahan berarti ancaman bagi kelangsungan hidup seluruh keluarga.
Menariknya, dalam kasus Thalaikoothal, ada laporan korban yang justru meminta dipercepat kematiannya demi tidak menyusahkan anak-cucu. Sementara dalam Ubasute, banyak kisah menunjukkan orang tua rela berkorban secara sukarela tanpa paksaan fisik. Di sinilah perbedaan nuansa antara paksaan dalam Thalaikoothal dan pengorbanan sukarela dalam Ubasute.
Perbedaan lain yang mencolok adalah soal keberlanjutan. Thalaikoothal masih ditemukan hingga abad ke-21, sementara Ubasute tak lagi dipraktikkan dan kini hanya hidup dalam cerita rakyat, drama panggung, hingga film. Masyarakat Jepang masa kini justru sangat menjunjung bakti kepada orang tua, bahkan memiliki kebijakan pensiun dan perawatan lansia yang cukup baik.
Secara hukum, Thalaikoothal masuk kategori pembunuhan di India dan bisa dijerat hukum pidana. Meski demikian, kasusnya kerap tidak terungkap karena keluarga dan masyarakat sekitar cenderung menutup-nutupi atas nama “mercy killing”. Pemerintah India terus berupaya meningkatkan kesadaran hukum dan sosial untuk menghapus praktik tersebut.
Di Jepang, Ubasute tak pernah tercatat sebagai pelanggaran hukum karena diyakini lebih sebagai kisah moral tentang hubungan anak dan orang tua di masa sulit. Hingga kini, legenda itu tetap menjadi bahan pelajaran moral dan etika dalam budaya populer Jepang.
Kedua tradisi kelam ini sebenarnya mencerminkan betapa manusia, dalam kondisi ekstrem kemiskinan atau ketidakberdayaan, bisa sampai pada keputusan-keputusan drastis terhadap anggota keluarga sendiri. Meski berbeda konteks dan bentuk, baik Thalaikoothal maupun Ubasute meninggalkan jejak sejarah yang mengingatkan pentingnya nilai kemanusiaan.
Di era modern ini, banyak negara di Asia menghadapi tantangan serupa dalam merawat populasi lansia yang terus bertambah. Perdebatan soal euthanasia, perawatan terminal, dan hak hidup kaum lanjut usia kembali mengemuka, seolah menjadi bayang-bayang masa lalu seperti Thalaikoothal dan Ubasute yang tak sepenuhnya hilang.
Perbandingan ini menyadarkan kita bahwa modernisasi tidak otomatis menghapus praktik-praktik kekerasan sosial tersembunyi. Ia justru menuntut kesadaran hukum, etika, dan solidaritas sosial yang lebih tinggi agar lansia mendapat penghormatan dan perlakuan manusiawi hingga akhir hayatnya.