Breaking News

Sudan di Pusaran Konflik Iran dan AS


Sudan kini berada di posisi dilematis dalam dinamika geopolitik kawasan menyusul eskalasi konflik antara Iran dan Amerika Serikat. Setelah sempat membekukan hubungan selama delapan tahun, Sudan dan Iran kembali membuka jalur diplomatik sejak Oktober 2023, ditandai dengan saling bertukar duta besar di tengah perang saudara yang masih berkecamuk di negeri Afrika Timur itu.

Hubungan baru ini tidak lepas dari kepentingan strategis Iran yang ingin memperluas pengaruhnya di kawasan Laut Merah. Selain untuk mengimbangi dominasi negara Teluk, Teheran juga memanfaatkan konflik internal Sudan untuk memperluas pengaruh di Port Sudan — pelabuhan penting yang strategis di jalur perdagangan internasional dan dekat dengan jalur vital Suez Canal.

Sejak pemulihan hubungan itu, Iran telah memasok peralatan militer, termasuk drone Mohajer-6 dan Ababil, yang terbukti efektif dalam membantu Tentara Sudan (SAF) merebut kembali wilayah-wilayah penting dari kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF). Selain persenjataan, Iran juga memberikan pelatihan militer dan bantuan intelijen, bahkan mengirim sebagian pasukan SAF untuk berlatih di Uganda.

Namun, ketika konflik Iran dan AS meningkat akibat serangan rudal ke Qatar yang dikutuk keras oleh Sudan, posisi pemerintah di Port Sudan menjadi serba sulit. Meski Sudan menerima bantuan Iran dalam perang domestiknya, pemerintah tetap berhati-hati agar tidak terperangkap dalam konflik besar antara Teheran dan Washington, dalam konflik yang dimulai oleh serangan Israel ke Iran untuk menutupi genosida di Gaza.

Pemerintah Sudan menyadari bahwa terlalu dekat dengan Iran bisa membahayakan hubungannya dengan kekuatan regional seperti Mesir. Kairo selama ini menjadi penyokong utama logistik dan diplomasi bagi SAF dalam menghadapi RSF. 

Namun begitu, Sudan membutuhkan peran Iran jika suatu saat pihaknya dikucilkan oleh kekuatan regional karena sebuah alasan atau lainnya. Iran juga mempunyai sejumlah investasi di Sudan.

Dalam kunjungan Menteri Luar Negeri Sudan, Ali Youssif ke Teheran Februari lalu, Iran kembali menawarkan bantuan rekonstruksi dan proyek ekonomi pasca-perang. Iran juga gencar menggalang jaringan pendidikan dan dakwah di Sudan, bagian dari strategi soft power-nya di Afrika untuk menanamkan pengaruh ideologis jangka panjang.

Selain itu, laporan intelijen regional menyebutkan bahwa Iran tertarik terhadap cadangan tambang Sudan yang kaya.

Meski begitu, Sudan tetap menyuarakan sikap anti-intervensi dalam konflik Iran-AS. Pernyataan pemerintahnya yang mengecam serangan rudal ke pangkalan AS di Qatar memperlihatkan upaya Sudan menjaga jarak dari manuver Iran, sekaligus menghindari terlibat langsung dalam rivalitas regional yang lebih besar. Sebelumnya negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sudah mengutuk serangan Israel-AS ke Iran.

Di satu sisi, Sudan membutuhkan Iran dan di sisi lain Sudan membutuhkan dukungan diplomatik dari negara-negara Arab. Ini membuat Sudan terpaksa memainkan politik dua muka, menerima bantuan militer Iran sembari tetap mempertahankan komunikasi diplomatik aktif dengan blok Teluk. 

Sudan sendiri saat ini mempunyai dua pemerintahan paralel. Pemerintah yang resmi di Port Sudan dan pemerintahan RSF di beberapa provinsi.