Breaking News

Iran Pertimbangkan Tarif Kapal di Selat Hormuz

Ketegangan geopolitik di kawasan Teluk Persia kembali memanas usai serangan yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap sejumlah fasilitas strategis Iran. Di tengah situasi tersebut, seorang pengamat politik Iran menyebut bahwa pemerintah Tehran saat ini tengah mempertimbangkan opsi untuk mengenakan tarif terhadap kapal-kapal asing yang melintasi Selat Hormuz.

Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran strategis dunia yang menghubungkan Teluk Persia ke Laut Arab dan Samudra Hindia. Jalur ini menjadi urat nadi pasokan minyak dunia, di mana sekitar 35 persen kebutuhan minyak global melintas melalui kawasan tersebut. Setiap kebijakan atau ancaman terhadap pelayaran di selat ini selalu berdampak luas terhadap perekonomian internasional.

Menurut pengamat tersebut, opsi penarifan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi Selat Hormuz dipertimbangkan sebagai salah satu respons atas meningkatnya tekanan Barat terhadap Iran. Selain sanksi ekonomi dan embargo minyak, serangan langsung ke fasilitas strategis Iran dinilai memerlukan langkah balasan yang tidak bersifat militer namun tetap memberikan efek gentar.

Wacana ini akan memicu perdebatan soal legalitasnya di mata hukum internasional. Dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS, terdapat prinsip kebebasan pelayaran di jalur-jalur internasional. Namun, tidak semua jalur pelayaran internasional memiliki ketentuan yang sama. Banyak selat atau kanal sempit di dunia yang sepenuhnya berada dalam perairan teritorial negara-negara pantai di kedua sisinya.

Sebagai contoh, Selat Malaka yang menjadi jalur vital pelayaran di Asia Tenggara berada di bawah yurisdiksi Malaysia dan Indonesia. Begitu pula Selat Inggris yang sepenuhnya masuk dalam perairan teritorial Inggris dan Prancis. Negara-negara ini, meskipun memiliki hak atas perairan tersebut, umumnya tidak mengenakan tarif terhadap kapal yang hanya melintas tanpa singgah.

Beberapa negara kepulauan seperti Indonesia dan Filipina, yang tergolong sebagai negara kepulauan atau archipelagic states, memiliki ketentuan bahwa seluruh perairan di dalam batas kepulauan mereka dihitung sebagai perairan internal. Meski demikian, prinsip lalu lintas damai tetap diakui dan diberlakukan di beberapa jalur strategis yang melintasi perairan tersebut.

Penerapan tarif atau pungutan terhadap kapal asing bukanlah hal yang baru dalam praktik hubungan laut internasional. Beberapa negara memang tidak mengenakan biaya terhadap kapal yang hanya melintas, namun tetap membebankan biaya bagi kapal yang masuk ke pelabuhan atau menggunakan fasilitas pelayaran seperti pelampung, mercusuar, dan sistem pengawasan lalu lintas kapal.

Untuk diketahui, keamanan pelayaran di perairan sempit seperti Selat Hormuz memerlukan banyak fasilitas navigasi berupa mercusuar, rambu laut, hingga sistem pemantauan lalu lintas kapal (VTMS) yang membutuhkan biaya besar untuk pemasangan dan pemeliharaan. Meski begitu, sebagian besar negara pantai membiayai kebutuhan ini tanpa memungut tarif dari kapal yang sekadar lewat.

Ada pula jalur-jalur air strategis di dunia yang walaupun sepenuhnya berada dalam perairan satu negara, statusnya ditetapkan sebagai jalur perairan internasional. Contohnya adalah Selat Bosporus di Istanbul, Turki. Meski perairan ini sepenuhnya milik Turki, negara tersebut tidak diperbolehkan memungut biaya transit dari kapal-kapal yang melintas.

Namun, pengecualian berlaku bagi kanal-kanal buatan seperti Terusan Suez di Mesir dan Terusan Panama di Amerika Tengah. Kedua kanal ini menjadi sumber pendapatan utama negara masing-masing. Terusan Suez, misalnya, mencatat pendapatan hingga USD 5,85 miliar pada 2018–2019 dari biaya tarif kapal yang melintasi jalur tersebut.

Di India, kapal-kapal asing yang berlayar di sekitar pelabuhannya dikenakan Lighthouse Dues atau biaya mercusuar, yang hasilnya masuk ke kas pemerintah. Namun, biaya ini hanya berlaku bagi kapal yang singgah di pelabuhan, bukan bagi yang hanya lewat di perairan teritorial India.

Prinsip kebebasan laut memang dijamin oleh hukum internasional, namun dalam praktiknya sering kali dilanggar, khususnya oleh AS dkk karena berbagai alasan. Sepanjang sejarah, banyak negara dan kekuatan maritim menerapkan pungutan di jalur-jalur sempit atau rawan, baik dengan dalih keamanan maupun biaya perawatan fasilitas navigasi.

Pungutan lintas batas sebagaimana jalan toll sudah lama terjadi dalam sejarah umat manusia. Salah satu conrohnya adalah sistem Khybari yang dilakukan suku-suku Pashtun di Khyber Pass, jalur pegunungan antara Pakistan dan Afghanistan, terhadap kafilah perdagangan yang lewat. Praktik serupa sempat diberlakukan oleh para pelaut Barbary era Ottoman (Utsmaniyah) di Laut Mediterania hingga awal abad ke-19 M.

Hingga kini, beberapa negara pun masih mengenakan pungutan khusus atas dasar keamanan, perawatan fasilitas, dan layanan pelayaran di jalur-jalur vitalnya. Meski demikian, tidak semua negara bebas menerapkannya. Ada perbedaan ketentuan antara perairan teritorial, jalur transit internasional, hingga kanal-kanal buatan.

Pengamat itu juga menilai bahwa jika negara-negara seperti Malaysia bisa mempertimbangkan tarif untuk jalur Selat Malaka, maka Iran pun memiliki dasar legal dan teknis untuk melakukan hal serupa di Selat Hormuz. Ia menambahkan, hal itu bisa dilakukan melalui negosiasi regional dan kerangka kerja sama antarnegara pantai.

Sejumlah analis melihat wacana tarif di Selat Hormuz ini lebih sebagai alat tawar politik ketimbang sekadar soal ekonomi. Dengan memainkan isu ini, Iran dinilai ingin meningkatkan posisi tawarnya dalam menghadapi tekanan Barat, baik di forum internasional maupun di meja perundingan sanksi.

Jika wacana itu benar-benar diberlakukan., negara-negara importir minyak dari kawasan Teluk, seperti Jepang, Tiongkok, dan India, akan menyesuaikan biaya logistik dan mempunyai dampak terhadap harga energi global.

Meski begitu, hingga kini pemerintah Iran belum mengeluarkan keputusan resmi soal tarif di Selat Hormuz. Namun, wacana itu diperkirakan akan terus bergulir, terutama jika ketegangan di kawasan terus meningkat akibat manuver militer Amerika Serikat dan sekutunya.

Bagi Tehran, Selat Hormuz tetap menjadi aset strategis yang bisa digunakan sebagai alat diplomatik maupun pengungkit dalam persaingan geopolitik global. Setiap keputusan yang menyangkut jalur ini dipastikan tak hanya berdampak regional, tetapi juga akan mempengaruhi perekonomian dunia.

Dibuat oleh AI