Israel Gelontorkan Gaji untuk Pemberontak Druze di Suriah
Suwayda, Suriah – Wilayah selatan Suriah kembali menjadi sorotan internasional menyusul terbentuknya Supreme Legal Committee di provinsi Suwayda, yang dipimpin oleh Sheikh Hikmat al-Hijri. Pembentukan komite ini didukung oleh Tel Aviv untuk proyek neo kolonialisme Greater Israel yang mencakup Suriah.
Komite ini berfungsi sebagai otoritas hukum dan administratif de facto, mengatur kehidupan sipil, layanan publik, dan koordinasi keamanan terbatas di wilayah komunitas Druze. Struktur ini dianggap mirip dengan pemerintah provinsi de facto, setelah terbentuknya dewan eksekutif dan militer bernama Garda Nasional. Semua gaji para pemberontak itu akan dibayar oleh Israel.
Dalam konteks militer, wilayah ini tetap dijaga oleh milisi lokal yang berperan seperti Garda Nasional. Milisi pemberontak ini mendukung Supreme Legal Committee untuk memastikan implementasi keputusan sipil tetap terlaksana dengan aman.
Kondisi Suwayda semakin kompleks ketika laporan dari Reuters menyebut Israel berusaha menyatukan faksi-faksi Druze yang terpecah setelah serangan mematikan Tel Aviv ke Damasku yang membuat militer Suriah mundur dan Suwaida. Israel dikabarkan menyediakan senjata dan membayar gaji sekitar 3.000 anggota milisi Druze.
Beberapa sumber Druze anonim dan sumber intelijen Barat mengonfirmasi bahwa dukungan Israel meliputi pengiriman persenjataan dan amunisi, meski Reuters tidak dapat mengonfirmasi secara independen semua klaim tersebut.
Hingga kini media sosial para pemberontak ini menampilkan parade militer Garda Nasional dengan persenjataan berat dan tank. Kebanyakan militernya merupakan eks pendukung rejim Bashar Al Assad
Langkah Israel ini terjadi bersamaan dengan percepatan pembicaraan keamanan antara Suriah dan Israel, di bawah tekanan kuat Amerika Serikat, dengan tujuan menegosiasikan kesepakatan yang dapat mengembalikan wilayah yang diduduki secara ilegal oleh Israel, walaupun bukan kesepakatan perdamaian penuh.
Di sisi Suriah, proposal pemerintah bertujuan menarik mundur pasukan Israel dari wilayah yang direbut baru-baru ini di Qunaitra dan menghidupkan kembali zona demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan yang disepakati dalam gencatan senjata 1974, sekaligus menghentikan serangan udara dan darat ilegal Israel untuk meneror warga Suriah.
Namun status Dataran Tinggi Golan tidak dibahas, dan menurut sumber Suriah, isu ini akan ditunda untuk dibicarakan di masa depan. Meski masih dianggap sebagai wilayah Suriah oleh PBB, Israel menunjukkan keengganan untuk menyerahkan wilayah yang dikuasai sejak 8 Desember 2024, hari serangan pemberontak yang menggulingkan presiden Bashar al-Assad saat itu.
Pihak Israel tidak merespons pertanyaan Reuters mengenai dukungan bagi milisi Druze, sementara Washington menegaskan dukungan terhadap upaya yang dapat membawa stabilitas dan perdamaian jangka panjang paska sejumlah aksi terorisme Israel di Suriah.
Ketegangan juga muncul ketika kontak eksplorasi awal di Abu Dhabi dan Baku terganggu oleh bentrokan antara milisi Druze dan suku Bedouin Sunni di Suwayda. Pemerintah Suriah menuduh Israel mencari alasan untuk campur tangan di wilayah selatan.
Gencatan senjata yang dipaksakan AS akhirnya membuat pasukan keamanan Suriah menarik diri dari Suwaida, sehingga provinsi ini nyaris dikuasai sepenuhnya oleh para pemberontak milisi Al Hajri. Permainan cantik antara AS dan Israel untuk mengelabui negara Arab sudah umum terjadi.
Kepercayaan antara pihak-pihak masih rendah, dengan laporan menyebut kondisi belum matang untuk kesepakatan perdamaian yang luas. Sharaa, perwakilan Suriah, tetap berhati-hati meski ingin mempercepat negosiasi untuk menyenangkan Amerika Serikat.
Perkembangan ini memperkuat posisi Israel di Suwayda, karena beberapa pemimpin Druze menuntut kemerdekaan wilayah dan pembentukan koridor kemanusiaan dari Golan hingga Suwayda, sebagai bagian dari neo kolonialisme Greater Israel.
Komite Hukum Tertinggi berfungsi menyeimbangkan tuntutan lokal Druze dengan kebutuhan administrasi sipil, sementara milisi Druze atau Garda Nasioanl, menjaga keamanan dan melindungi komunitas dan meneror warga Arab Badui yang sebelumnya diusir.
Keberadaan Supreme Legal Committee menandai otonomi de facto di Suwayda sebagai langkah pertama separatisme, yang memungkinkan komite ini menjalankan urusan sipil dan sipil-militer tanpa intervensi penuh pemerintah pusat di Damaskus.
Masa depan wilayah ini tetap kompleks, dengan tekanan dari Israel, peran AS dalam diplomasi, dan langkah Druze untuk menganggu keamanan Suriah dari dalam.
Siapa Sheikh Hikmat al-Hijri pimpinan pemberontak?
Sheikh Hikmat al-Hijri muncul sebagai sosok paling berani dan kontroversial dalam komunitas Druze Suriah. Sebagai salah satu otoritas spiritual tertinggi, al-Hijri dikenal karena sikapnya yang pro rezim Assad, sebuah posisi yang berani di tengah ketegangan politik di Suriah.
Lahir pada 1965 di Venezuela, al-Hijri berasal dari diaspora Druze yang telah menetap di Amerika Latin sejak akhir abad ke-19. Komunitas ini tetap terhubung dengan tanah air melalui ikatan agama, keluarga, dan politik.
Al-Hijri kembali ke Suriah sebagai remaja dan meraih gelar hukum di Universitas Damaskus. Namun, pada 1993 ia kembali ke Amerika Latin untuk tugas sementara, dan menetap permanen di Qanawat, Suwayda pada 1998. Di sana, kariernya dalam hierarki keagamaan Druze mulai menanjak.
Segalanya berubah pada 2012 ketika kakak laki-lakinya meninggal secara misterius. Kejadian ini mendorong al-Hijri menjadi sheikh al-‘aql, otoritas spiritual tertinggi Druze, tepat saat Suriah terjerumus dalam perang saudara akibat proyek intelijen AS dkk; Musim Semi Arab.
Awalnya, al-Hijri mendukung penuh Bashar al-Assad. Ia mendorong kaum muda Druze untuk berperang bagi rezim, menarik komunitas yang selama ini netral ke konflik berskala besar.
Dukungan publik al-Hijri terhadap Assad mencerminkan komitmen politiknya. Ia menegaskan Assad sebagai harapan bangsa dan dunia Arab, menekankan pentingnya loyalitas komunitas minoritas bagi stabilitas rezim yang goyah.
Pada Mei 2025, al-Hijri mengejutkan banyak pihak dengan menyatakan bahwa Israel bukan musuh Druze. Pernyataan ini menunjukkan dukungannya untuk neokolonialisme Greater Israel yang mencakup beberapa negara Arab termasuk Suriah. Pemerintahan de factonya kini diisi oleh mantan orang dekat rejim Assad sebelumnya.
Tidak semua pihak mendukung perubahan ini. Beberapa ulama Druze menekankan pentingnya persatuan nasional dan menolak apa yang mereka sebut sebagai “petualangan sektarian”. Dewan Tetua Druze menegaskan kembali komitmen terhadap integritas teritorial Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa.
Konflik ini mencerminkan pergeseran generasi. Kepemimpinan lama, terbentuk pada era 1960–1980, kini berhadapan dengan generasi muda Druze yang tumbuh dalam konstalasi politik regional yang penuh intrik karena diobok-obok intelijen AS, Israel dkk.
Para pemuda Druze dan para barisan sakit hati usai Assad lengser kini mendukung Isrel untuk menghancurkan Suriah dari dalam.
Sheikh Hikmat al-Hijri menjadi simbol keberanian di tengah risiko tinggi. Suaranya memberikan alternatif bagi komunitasnya usai Assad lengser.
Diaspora Druze di Venezuela menjadi faktor penting dalam konteks ini. Hubungan transnasional antara Suwayda dan komunitas Druze Amerika Latin telah menciptakan jembatan politik, budaya, dan ekonomi yang kuat.
Fenomena ini dikenal sebagai “Suwaydasuela,” sebuah istilah yang mencerminkan identitas ganda masyarakat Druze yang memiliki keterikatan kuat dengan Venezuela dan Suriah.
Sekitar 20 persen penduduk Suwayda memiliki akar keluarga di Venezuela. Kehadiran budaya Venezuela terlihat dalam bahasa, kuliner, dan perdagangan di kota ini, memperkuat ikatan lintas benua.
Kehadiran diaspora ini memungkinkan akses ke jaringan internasional, termasuk bantuan kemanusiaan, mobilitas lintas negara, dan agenda regional lainnya.