Saling Sandera dan Percaturan Politik Yaman
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang tertanggal 30 Desember 2025 / 10 Rajab 1447 H merupakan sinyal politik yang jauh lebih dalam daripada sekadar dukungan formal kepada Rashad al-Alimi dan PLC. Teks itu menunjukkan bahwa Riyadh sudah memikirkan dampak jangka panjang jika Uni Emirat Arab benar-benar “diusir” dari Yaman oleh PLC, dan bahwa Saudi sadar eskalasi ini berpotensi keluar dari kendali.
Dalam dokumen tersebut, Saudi secara eksplisit menyebut pengiriman senjata dan kendaraan lapis baja dari Pelabuhan Al-Fujairah ke Pelabuhan Al-Mukalla tanpa persetujuan Komando Gabungan Koalisi sebagai tindakan berbahaya. Ini bukan sekadar kritik prosedural, melainkan tuduhan pelanggaran langsung atas arsitektur koalisi yang dibangun Saudi sejak 2015.
Kalimat paling penting dalam teks itu adalah ketika Saudi menyatakan bahwa langkah UAE di Hadramaut dan Al-Mahra “merupakan ancaman terhadap keamanan nasional Kerajaan” dan dinyatakan sebagai red line. Artinya, Saudi tidak hanya memikirkan Yaman, tetapi memandang wilayah timur Yaman sebagai perpanjangan keamanan internalnya sendiri.
Ini menunjukkan bahwa Saudi sudah mengantisipasi skenario di mana pengaruh UAE, melalui STC dan pasukan sekutunya, dapat memotong jalur strategis Saudi menuju Laut Arab dan Samudera Hindia. Hadramaut dan Al-Mahra bukan wilayah periferal bagi Riyadh, melainkan zona penyangga vital.
Saudi juga tampak sadar bahwa PLC tidak mungkin menguasai kembali seluruh wilayah Yaman. Secara realistis, wilayah yang masih dapat dikendalikan PLC hanyalah Marib, Al-Jauf, Taiz, dan pedalaman tertentu Hadramaut serta Al-Mahra yang dekat dengan perbatasan Saudi. Pernyataan Saudi tidak pernah menyebut target “rekonsolidasi nasional penuh”, melainkan stabilitas dan dialog.
Bahasa yang digunakan Saudi sangat berhati-hati. Mereka menegaskan dukungan pada “keamanan, stabilitas, dan kedaulatan Yaman”, tetapi dalam paragraf yang sama mengakui bahwa isu selatan memiliki dimensi historis dan sosial, serta hanya bisa diselesaikan lewat dialog dengan semua pihak, termasuk STC. Ini pengakuan tersirat bahwa unifikasi dengan paksaan sudah tidak realistis.
Pertanyaan krusialnya: apakah Saudi tahu bahwa UAE tidak bisa didikte? Jawabannya: ya. Justru karena itu nada pernyataan ini tidak ultimatif ke Abu Dhabi. Saudi “menyampaikan kekecewaan”, bukan ancaman langsung, dan berharap pada “kebijaksanaan, prinsip persaudaraan, dan hubungan GCC”.
Perbandingan dengan kasus RSF di Sudan relevan. Di Sudan, UAE berhadapan dengan negara rapuh tanpa sponsor regional kuat. Di Yaman, UAE berhadapan dengan Saudi langsung. Riyadh sadar Abu Dhabi tidak akan tunduk begitu saja, sehingga Saudi memilih bahasa diplomatik keras namun tidak memutus hubungan.
Pernyataan Saudi agar UAE menarik semua pasukan dalam 24 jam harus dibaca sebagai tekanan simbolik dan politik, bukan ekspektasi realistis. Riyadh sendiri hampir pasti tahu tenggat ini tidak mungkin dipenuhi secara penuh di lapangan.
Yang lebih penting adalah pesan implisit kepada STC dan faksi pro-UEA: Saudi kini menganggap tindakan militer di Hadramaut dan Al-Mahra sebagai ancaman langsung terhadap Kerajaan. Ini garis merah yang tidak pernah sejelas ini sebelumnya.
Saudi juga tampaknya sudah menghitung bahwa PLC tidak akan mampu menguasai Hadramaut dan Al-Mahra secara menyeluruh, bahkan jika UAE pergi. Alasannya bukan semata kekuatan militer, tetapi faktor sosial: masyarakat Hadramaut dan Al-Mahra tidak kompak, tidak sepenuhnya pro-STC, tetapi juga tidak sepenuhnya pro-Aden.
Fragmentasi sosial ini membuat kontrol terpusat mustahil. Saudi tahu bahwa pendekatan terbaik bukan penaklukan, melainkan manajemen pengaruh lokal, suku, dan ekonomi lintas batas.
Karena itu, kepentingan utama Saudi bukan mengembalikan Yaman sebagai negara utuh seperti sebelum 2014, tetapi mengamankan koridor utara-timur Yaman agar tidak dikuasai aktor yang berseberangan dengan kepentingan Riyadh.
Dalam konteks ini, langkah Rashad al-Alimi justru memberi Saudi legitimasi untuk bertindak lebih tegas di Hadramaut dan Al-Mahra, tanpa terlihat menentang pemerintah sah Yaman.
Namun, pada saat yang sama, Saudi juga sadar bahwa mengusir UAE sepenuhnya akan menciptakan kekosongan yang berbahaya. Karena itu pernyataan Saudi menekankan dialog, bukan konfrontasi militer antar sekutu.
Fakta bahwa Saudi masih berharap hubungan bilateral dengan UAE “tetap terjaga dan diperkuat” menunjukkan Riyadh tidak ingin konflik ini berubah menjadi perang dingin intra-Teluk di tanah Yaman.
Mengenai STC, Saudi tampaknya paham bahwa mendorong mereka terlalu keras justru dapat mempercepat deklarasi kemerdekaan selatan. Karena itu, Saudi menolak bahasa pemaksaan total dan tetap membuka pintu dialog.
Dengan kata lain, Saudi tampaknya sudah menerima realitas bahwa Yaman tidak lagi dapat dipersatukan sepenuhnya, tetapi masih bisa dikelola agar tidak menjadi ancaman strategis bagi Kerajaan.
Kesimpulannya, pernyataan Saudi ini menunjukkan bahwa Riyadh sudah memikirkan dampak jangka panjang pengusiran UAE, memahami keterbatasan PLC, menyadari kerasnya posisi Abu Dhabi, dan mengerti fragmentasi sosial Hadramaut–Al-Mahra.
Langkah Saudi bukan reaksi spontan, melainkan upaya mengendalikan kerusakan dari konflik yang mereka tahu tidak bisa dimenangkan secara absolut. Dalam situasi ini, Saudi tampak bukan mengejar kemenangan total, tetapi mencegah kekalahan strategis terbesar: kehilangan keamanan di perbatasan dan pesisir timurnya sendiri.
Baca selanjutnya
