Sepak Terjang Federalisme dan Otonomi di Somalia
MOGADISHU — Somalia yang dibangun atas kerangka federalisme kini berada di persimpangan penting karena tiga wilayah besar di dalamnya memiliki tingkat otonomi dan karakter yang berbeda dalam struktur pemerintahan dan aparat keamanannya, yaitu Puntland, Jubaland, dan Somaliland. Ketiga entitas ini beroperasi dengan cara yang mencerminkan realitas sejarah, politik, dan konflik internal yang panjang setelah runtuhnya pemerintahan pusat pada awal 1990‑an, dan masing‑masing menunjukkan bagaimana federalisme di Somalia berubah menjadi arena persaingan kekuasaan di luar kendali Mogadishu.
Puntland berdiri sebagai negara bagian otonom sejak 1 Agustus 1998, dengan sistem pemerintahan sendiri yang memiliki presiden, parlemen, dan institusi administratif. Secara resmi Puntland tetap mengklaim dirinya bagian dari Republik Federal Somalia, tetapi dalam beberapa tahun terakhir posisi ini diuji ketika pemerintahnya menolak pengakuan terhadap otoritas pemerintah federal di Mogadishu setelah krisis konstitusi yang berkepanjangan. Pernyataan resmi bahwa Puntland “akan bertindak independen” sampai konstitusi nasional yang disepakati disetujui melalui referendum lokal menunjukkan ketegangan yang terus tumbuh dalam hubungan antara pemerintah pusat dan otonomi regional ini.
Berbeda dengan Puntland, Jubaland merupakan negara bagian Somalia yang diakui secara formal oleh pemerintah federal pada 2013 melalui proses Garowe II, tetapi dalam praktiknya juga menunjukkan kecenderungan otonom yang kuat. Jubaland mengelola wilayah termasuk Lower Juba, Gedo, dan Middle Juba dengan kota pelabuhan Kismayo sebagai pusat kekuasaannya, dan memiliki struktur politik serta keamanan sendiri yang mempertahankan kontrol regional dan hubungan strategis dengan negara tetangga serta aktor internasional dalam konteks konflik dan stabilitas regional.
Sementara itu di sebelah barat laut, Somaliland menyatakan kemerdekaannya dari Somalia pada 1991 dan telah beroperasi sebagai entitas yang secara de facto terpisah selama lebih dari tiga dekade. Pemerintah Somaliland menjalankan fungsi kenegaraan penuh dengan sistem legislatif, eksekutif, dan yudikatif sendiri serta pemilihan umum yang berlangsung secara relatif damai. Pada akhir 2025, langkah baru diplomatik muncul ketika Israel menjadi negara pertama yang secara resmi mengakui Somaliland sebagai negara merdeka, sebuah titik balik besar dalam sejarah klaim kedaulatan wilayah tersebut.
Perbedaan antara ketiga wilayah itu juga tercermin dalam kekuatan keamanan dan perannya dalam menjaga stabilitas. Puntland Police Force adalah layanan kepolisian yang dibentuk pada tahun 1998, bertanggung jawab atas penegakan hukum, keamanan publik, dan tugas‑tugas sipil di wilayah tersebut yang berada di bawah kendali Pemerintah Puntland. Sementara itu, selain polisi, Puntland juga memiliki unit keamanan lain seperti Puntland Security Force (PSF) yang fokus pada kontra‑terorisme dan operasi keamanan internal, menunjukkan struktur keamanan yang luas dan beragam dengan dukungan peran asing di tingkat tertentu.
Di Juubaland, unit paramiliter utama adalah Jubaland Darawiish Force, yang beroperasi sebagai pasukan keamanan lokal di bawah administrasi Jubaland dan bertindak melawan kelompok ekstremis seperti Al‑Shabaab serta menjaga stabilitas wilayah mereka sendiri. Kekuatan ini memiliki peran signifikan dalam mempertahankan kendali wilayah dan sumber daya, serta memainkan peran politik yang tidak terpisahkan dari posisi kepemimpinan regional di Kismayo.
Berbeda lagi dengan kedua negara bagian itu, Somaliland memiliki struktur keamanan nasional yang lebih terpusat dan terkoordinasi. Pasukannya mencakup polisi nasional, unit intelijen, angkatan darat, dan kesatuan pantai, yang didukung oleh pelatihan serta bantuan dari negara lain seperti Inggris dan Uni Eropa. Kesatuan ini tidak hanya menjaga ketertiban internal tetapi juga memberikan tingkat stabilitas yang jarang terlihat di bagian lain Somalia yang dilanda konflik berkepanjangan.
Ketiga entitas ini juga mencerminkan spektrum hubungan mereka dengan pemerintahan pusat Mogadishu. Puntland secara historis memandang dirinya sebagai bagian integral dari suatu Somalia federal, meskipun menolak kontrol penuh pemerintah pusat dan menuntut kesepakatan konstitusional yang lebih adil. Jubaland tetap mengakui kerangka federal namun dalam praktiknya beroperasi dengan tingkat independensi yang kuat dalam isu ekonomi dan keamanan lokal. Somaliland mengambil langkah lebih jauh dengan menyatakan pemisahan total pada awal 1990‑an dan memperjuangkan pengakuan internasional sebagai negara merdeka.
Keragaman ini telah menciptakan sistem yang kompleks di mana federalisme Somalia tidak lagi menjadi jalan menuju integrasi nasional yang utuh, tetapi lebih menjadi pengakuan atas realitas politik dan kekuasaan regional yang otonom. Para analis mengatakan bahwa federalisme Somalia, yang pada awalnya dimaksudkan untuk menyatukan melalui pemberian otonomi, justru mendorong fragmentasi karena masing‑masing negara bagian memiliki narasi kekuasaan sendiri dan sering bersaing dengan otoritas pusat dalam isu konstitusi, sumber daya, dan keamanan.
Perselisihan antara pemerintahan federal dan negara bagian sering kali dilatarbelakangi oleh ketidaksepakatan tentang pembagian kekuasaan dan distribusi sumber daya. Wilayah seperti Puntland menolak langkah yang dianggap sebagai campur tangan pemerintah pusat dalam urusan internal mereka dan menekankan pentingnya keterlibatan langsung dalam pembentukan aturan federal melalui referendum konstitusional. Hal ini menunjukkan bagaimana konflik antara desentralisasi dan otoritas pusat tetap menjadi inti dari krisis politik Somalia modern.
Selain itu, konteks keamanan juga memperlihatkan perbedaan drastis antarwilayah. Somaliland menikmati keadaan relatif damai dan jarang menjadi sasaran serangan kelompok ekstremis besar seperti yang terjadi di bagian selatan negara itu, sementara di Puntland dan Jubaland ancaman dari Al‑Shabaab dan kelompok ekstremis lain masih menjadi tantangan yang serius. Ini mencerminkan bagaimana stabilitas keamanan saling terkait dengan efektivitas lembaga kenegaraan dan legitimasi pemerintahan lokal di wilayah masing‑masing.
Perbedaan struktur keamanan ini juga berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap aparat. Di beberapa bagian Puntland, persaingan antara polisi formal dan kelompok milisi klan lokal telah menciptakan dinamika di mana publik terkadang kurang memercayai aparat resmi dan lebih bergantung pada struktur keamanan informal untuk perlindungan dan penyelesaian sengketa. Pendekatan ini berbeda dengan Somaliland yang memiliki hubungan lebih harmonis antara aparat formal dan komunitas lokal dalam hal penegakan hukum dan stabilitas masyarakat.
Di tengah semua dinamika itu, Jubaland tetap menjadi contoh bagaimana negara bagian federal yang diakui dapat mempertahankan otonomi operasional dalam konteks Somalia yang longgar. Keberadaan pasukan seperti Darawiish Force menunjukkan betapa seriusnya isu keamanan lokal di wilayah tersebut dan bagaimana kepemimpinan regional berupaya menyeimbangkan antara kerja sama dan kemandirian dalam hubungannya dengan Mogadishu.
Hubungan antara ketiga entitas ini juga mencerminkan ketegangan yang tak terhindarkan antara identitas regional dan nasionalisme Somalia. Konflik administrasi di beberapa wilayah perbatasan antara Puntland dan Somaliland atas kontrol kawasan seperti Sool dan Sanaag menunjukkan bagaimana klaim teritorial yang bersinggungan bisa memperumit usaha perdamaian dan stabilisasi federal.
Selain dinamika internal, hubungan eksternal memainkan peran penting dalam evolusi status politik ketiga wilayah tersebut. Bantuan, dukungan keamanan, dan interaksi diplomatik dengan negara tetangga serta aktor internasional lainnya memberi pengaruh berbeda terhadap perkembangan administrasi otonom yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat legitimasi dan kapasitas pemerintah daerah serta hubungan mereka dengan pemerintah federal Mogadishu.
Dalam konteks regional yang lebih luas, Somaliland semakin menarik perhatian internasional setelah mendapatkan pengakuan negara pertama dari Israel pada akhir 2025, suatu langkah yang dapat membuka jalan bagi pengakuan lebih luas di masa depan sekaligus menegaskan perbedaan mendasar antara Somaliland dan Puntland atau Jubaland dalam aspirasi politik yang mereka anut.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah federal Somalia terus menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan kesatuan negara sambil merespons tuntutan desentralisasi yang kuat dari negara bagian seperti Puntland dan Jubaland, serta aspirasi kemerdekaan Somaliland yang telah berlangsung puluhan tahun. Upaya pembaruan konstitusi yang inklusif tetap menjadi kunci untuk mengatasi konflik struktural ini, namun hingga kini belum menemukan jalan keluar yang disepakati bersama.
Terlepas dari keterbatasan pengakuan internasional, Somaliland sebagaimana Taiwan, telah membangun lembaga pemerintahan yang fungsional, mengadakan pemilihan, dan membentuk sistem hukum yang stabil, menjadikannya satu‑satunya wilayah di bekas Somalia yang menikmati tingkat stabilitas relatif dan keteraturan administratif yang lebih baik dibandingkan wilayah lain di negara itu.
Sementara itu Jubaland tetap berusaha mempertahankan relevansinya dalam struktur federal dengan pendekatan pragmatis, menjaga otonomi keamanan dan administratifnya sambil tetap berada dalam payung Somalia yang diakui secara internasional, meskipun sering berselisih dengan pemerintah federal terkait isu kontrol sumber daya dan pemerintahan.
Puntland terus menjadi entitas yang inkonsisten secara politik, bagian karena klaimnya sebagai negara bagian federal yang menolak otoritas pusat dan bagian karena keterlibatan internal dalam politik Somalia yang lebih luas, namun tetap mempertahankan struktur pemerintahan dan keamanan sendiri serta menunjukkan peran khas dalam landskap federal Somalia yang seringkali rapuh.
Masa depan hubungan antara pemerintah pusat dan ketiga entitas ini sangat bergantung pada kemampuan semua pihak untuk mencapai kesepakatan tentang peran federalisme, pembagian kekuasaan, serta mekanisme penyelesaian konflik internal yang menghormati aspirasi lokal dan tujuan nasional untuk stabilitas dan kemajuan Somalia.
Dalam gambaran besar, perbedaan antara Puntland, Jubaland, dan Somaliland menunjukkan bagaimana realitas federalisme di Somalia telah berkembang menjadi organisasi politik yang mencerminkan sejarah, identitas, kekuasaan, dan tantangan keamanan yang berbeda, yang pada akhirnya menandai perjalanan panjang negara ini menuju bentuk pemerintahan yang lebih stabil dan inklusif.
