Zona Militer Yaman: Duel Dua Pemerintahan
Yemen saat ini disaksikan dunia terbagi bukan hanya dalam konflik ideologi, tetapi juga dalam sistem komando militer yang paralel. Pemerintahan yang diakui di Aden membagi negaranya menjadi tujuh wilayah militer sejak 2013, masing-masing menampung brigade darat, lapis baja, artileri, angkatan udara, pertahanan pantai, dan pangkalan udara. Wakil presiden Dewan Kepemimpinan Presidensial, Rashad al‑Alimi, baru saja menambahkan Wilayah Militer Kedelapan, mencakup provinsi Ibb, Dhamar, dan Al‑Bayda, sebagai respons atas kekacauan aparat dan faksi lokal.
Seiring merambahnya Sa’dah dan wilayah barat, Houthi—yang kini menguasai ibu kota Sanaa dan mayoritas wilayah utara—menjalankan versi lain. Mereka membangun struktur komando de facto yang membagi wilayah kekuasaan menurut provinsi dan fungsi masing-masing. Di bawah kepemimpinan Mahdi al‑Mashat, ketua Dewan Politik Tertinggi dan de facto Presiden, militer Houthi dikawal langsung oleh Menteri Pertahanan Mohammad al‑Atifi dan komandan sarat loyalis keluarga al‑Houthi seperti Abdul Khaliq al‑Houthi, yang mengatur pasukan elite seperti Garda Republik dan Pasukan Khusus .
Struktur militer Aden, meski berbasis di tujuh wilayah, terbukti rapuh lantaran dominasi faksi-faksi seperti Brigade Raksasa (Giants Brigades), Dewan Transisi Selatan (STC), pasukan Al‑Amaliqah, dan unit “Dr’a al‑Watan”. STC khususnya, oleh komandan Aidarus al‑Zubaydi, telah merebut kendali utuh atas Aden dan aglomerasi selatan sejak 2017. STC membentuk sayap militer seperti Security Belt dan Brigade infanteri selatan yang dipimpin Brigjen Ali al‑Bishi, dengan struktur komando yang terintegrasi dalam Dewan Kepemimpinan Presidensial meski secara politik mendukung aspirasi pemisahan selatan .
Wilayah Militer Kedelapan baru dibentuk di distrik Qa’atabah utara Dhale dan menyesuaikan kontrol Aden agar lebih monolitik, namun malah menimbulkan zat awal konflik baru. Komando mayor jenderal Hadi Al‑Awlaqi dan Kolonel Adil Al‑Shaibah ditempatkan di jantung pertempuran antara pasukan pemerintah, STC, serta milisi lokal, mempertegas pergeseran medan dan pengaruh di titik transit penting tersebut .
Di utara dan barat, Houthi tidak hanya mempertahankan enam provinsi operasional mereka, tetapi juga menerapkan struktur komando setidaknya di lima kawasan utama—Sanaa, Sa’da, Amran, Hudaydah, dan Al‑Bayda—yang secara efektif menggantikan sistem militer resmi kerangka wilayah militer negara. Houthi membangun entitas militernya berdasarkan provinsi dan aliansi faksi, serta menjaga kesetiaan sistem pertahanan mereka pada struktur SPC dan jaringan Iran .
Adanya wilayah militer kedelapan dan monopoli STC di selatan menjadikan Aden sebagai wilayah semi-otonomi berlapis militernya sendiri, berbeda dari model terpusat di utara Houthi. Secara kasar, perbandingan dapat dirangkum: Aden + STC (3–4 brigade kontrol langsung), Dewan Kepemimpinan Presidensial (7 wilayah militer + 8), alias puluhan brigade; sedangkan Houthi mengendalikan 200 sampai 350 ribu pejuang terlatih berkekuatan Garda, pasukan khusus, serta cross-provincial brigades.
Peta di atas menggambarkan realitas ini: wilayah hijau adalah Houthi; merah wilayah keseluruhan Hadhramaut tribal; kuning adalah STC dan aliansinya; abu-abu menunjukkan HQ dan koalisi gabungan pemerintah pusat; ungu menandai National Resistance dan zona Ta'izz yang masih poros perlawanan independen. Tabel secara kasat mata menunjukkan dualisme nyata yang disertai ketidakpastian aliansi.
Kehadiran delapan wilayah militer dalam satu negara kecil membuka peluang pergeseran taktis dan strategis cepat, tergantung sumber daya dan dukungan eksternal. Houthi mendapat dukungan Iran hingga Quds Force, sementara STC diback-up Uni Emirat Arab. Koalisi Saudi mendominasi negara resmi, tetapi prakteknya medan tempur menunjukkan fragmentasi yang semakin akut .
Lebih dari sekadar peta, ini soal bagaimana pertahanan sipil, logistik jalan, dan kontrol perbatasan kapal berjalan. Houthi telah mengembangkan kemampuan menembak rudal jarak jauh ke Laut Merah; federasi Aden+STC menunggu pengembangan pangkalan laut sendiri. Zona militer kedelapan, di tengah, menjadi bioskop perebutan akses jalan.
Keberlanjutan ganda struktur ini tergantung pada tekad Riyadh dan Abu Dhabi mendukung pemerintah resmi. Jika mereka melemah, STC bisa menarik diri lagi. Jika Iran terus menggandakan bantuan, Houthi makin kukuh. Sedangkan Qausilitas geopolitik kawasan akan mempengaruhi cara tokoh lokal bereaksi, entah bergabung lagi atau loncat pagar.
Dengan gambaran ini, dapat disimpulkan bahwa peta wilayah Yaman bukan hanya pertarungan dua kubu, tetapi juga adu struktur komando paralel. Jika pemerintah pusat tidak menangani fragmentasi militer ini dengan penerimaan zona otoritas lokal, bukan tidak mungkin perang sipil tak kunjung usai. Dan pada akhirnya, saham jalan, minyak, dan pelabuhan—bukan ideologi—akan menentukan siapa layak menyebut diri Pemerintah.