Breaking News

Pilkada Fakfak

Pilkada Fakfak Membentengi Pluralisme dari Kemelut Politik

Pluralisme etnis dan agama sangat mengakar di Kabupaten Fakfak, Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Dalam kehidupan masyarakat setempat selama ratusan tahun, Islam dan Kristen sudah berbaur menjadi satu.

Tak ada pertentangan antara penganutnya meskipun kedua keyakinan tersebut masuk ke Fakfak hampir bersamaan. Kapitan Ambar yang memerintah antara 1965-1974 adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kerukunan di Fakfak. Ia selalu menyampaikan kepada masyarakat mengenai kerukunan, kebersamaan dan persaudaraan.

Rumusan kalimat yang selalu didengungkan pada berbagai kesempatan, "Mereka yang datang dan mereka yang pergi adalah saudara yang membangun Tanah Kapaur (Fakfak). Pendatang adalah saudara, pemimpin adalah orangtua, dan pengkhianat akan menanggung risiko sendiri". Pada hampir semua keluarga terdapat anggota yang beragama Islam, Kristen, Katolik. Mereka menyebutnya "satu periuk tiga tungku", dalam satu rumah ada tiga agama.

Menurut Kepala Desa Werba, Kecamatan Fakfak Barat, Agustinus Kabes, keragaman agama seolah-olah menjadi satu keharusan dalam keluarga. Belum sempurna bila dalam satu klan hanya ada orang Kristen atau Muslim saja. Keluarga harus dibangun dalam suasana religius yang komplit. Setiap anggota famili wajib mengenal dan memahami ajaran dan nilai-nilai Kristen atau Islam. Dengan pemahaman itu, tidak ada benih fanatisme agama yang muncul. Yang ada sikap saling menghormati, membiarkan, merelakan, dan melepaskan untuk membangun keharmonisan yang jauh lebih mendalam.

"Karena itu, pada hari Natal, anggota keluarga Islam belanja pakaian dan menyiapkan kebutuhan yang Kristen. Sebaliknya, pada bulan puasa dan Lebaran, anggota keluarga Kristen yang memasak dan belanja semua keperluan, termasuk membangunkan untuk sahur," kata Kabes. Tak ada perasaan hampa, cemburu, benci, dendam, dan permusuhan dengan agama lain. Bahkan, ada siklus kehidupan agama yang bergantian dalam keluarga. Seusai merayakan Lebaran, semua merayakan Natal dan Tahun Baru.

"Praktik kehidupan semacam ini perlu dipelajari masyarakat Muslim dan Kristen di Indonesia. Tidak perlu setiap keluarga ada yang Kristen dan Islam, tetapi cara hidup bersama ini perlu dijadikan cermin bagi kehidupan kita di Tanah Air," kata Kabes.

Namun demikian, kultur yang berpotensi besar menopang demokratisasi di Tanah Kapaur menghadapi jalan berliku ketika terjamah ranah politik. Aktivitas sosial terakhir ini berpeluang memecah belah tradisi kemajemukan berbabagi aspek sosiologis di Fakfak.

Sebagai contoh, mantan Bupati Fakfak, Wahidin Puarada, saat awal menjabat pernah dikeroyok massa (Maret 2000). Peristiwa terjadi ketika Puarada bersama rombongan baru saja selesai menyerahkan bantuan pembangunan gereja di Desa Wayati, Kecamatan Wayati Timur, Kabupaten Fakfak. Ketika itu, Puarada baru dilantik oleh Gubernur Papua Freddy Numberi untuk periode 2000-2005. Kepala Biro Tata Laksana Pemerintahan Daerah Papua, Mikhael Manufandu kala itu mengatakan, sang bupati dikeroyok ratusan pemuda, sehingga memar dan bengkak di sekujur tubuh, terutama wajahnya. Mereka memukul dengan tangan dan kayu. Mikhael berkisah, pengawal bupati yang membawa senjata api sempat melepaskan tembakan dan mengenai Agustinus Waronde, salah seorang dari para pelaku. Kaki kiri Warombe tertembus peluru di bagian betis sehingga dirawat di RS Fakfak.

Sementara, Sekwilda Fakfak, Franciscus Hombore bersama istri Ny Hombore melarikan diri ke Desa Pasir Putih, sekitar 30 kilometer dari Desa Wayati. Tiga mobil Kijang yang membawa rombongan bupati dihancurkan massa, sehingga tidak dapat digunakan kembali ke Fakfak.

Pengeroyokan secara mendadak itu terjadi di salah satu tempat antara Desa Wayati dan ibu kota Fakfak. Motif pemukulan, diduga karena kelompok tertentu tidak puas atas pemilihan Puarada sebagai bupati Fakfak. Semula, sebagian warga Fakfak menggelar berbagai aksi demo, menuntut bupati Fakfak harus mampu menangkap aspirasi masyarakat dan bukan dari birokrasi pemerintah setempat. Padahal, Puarada dan Hombore adalah putra Fakfak yang dipilih secara demokratis. Ini, pertama kali terjadi dalam sejarah pemerintahan Fakfak.

Kasus ini menjadi pelajaran bagi penduduk setempat dalam menghadapi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, 28 Juli 2005. Sebab, pluralisme etnis dan agama yang sudah terbangun secara mapan akan runtuh bila tak ditunjang kedewasaan berpolitik.

Meski belum ada literatur yang melukiskan asal usul kehadiran kaum Muslim di Fakfak. Tetapi, kenyataan, hampir 60 persen warga Fakfak dan sekitarnya menganut agama Islam. Tak hanya warga pendatang, tetapi penduduk asli dengan warna kulit hitam dan rambut keriting sudah sejak ratusan tahun silam menganut agama Islam. Mesjid Patimburak yang didirikan tahun 1700-an adalah bukti sejarah Islam di Fakfak.

Tokoh muslim Fakfak, Syamsu ZA Tukuwain, mengatakan, kehadiran Islam di Fakfak bukan impor dari luar Papua. "Mesjid tertua di daerah ini adalah masjid Patimburak sekitar 100 km dari Fakfak. Mesjid ini dibangun persis di bibir pantai Kampung Patimburak dengan mengambil arsitektur seperti kebanyakan bangunan tua di Eropa," kata Tukuwain.

Suku asli di Fakfak adalah Baham Matta. Baham berarti segala kehidupan di gunung dan matta adalah kehidupan di pantai. Kedua kata ini kemudian digabung menjadi Baham Matta, dalam artian bersatu membentuk keharmonisan dan kebersamaan yang erat. Lewat suku Baham ini, kata Tukuwain, Islam menyebar ke Banda, Buton, Bau-Bau, bahkan Bugis dan Banten. "Keluarga Baham ini sebagai pemersatu karena itu ia harus berpartisipasi dan aktif menyebarkan kedamaian, kerukunan, dan harmonisasi antara umat manusia. Ini, yang kami terapkan di Fakfak mulai ratusan tahun silam," kata putra Fakfak ini.

Muslim asli dari Baham kemudian menyatu dengan Matta, warga pendatang baik Kristen maupun Muslim. Muslim pendatang ini diyakini berasal dari Seram dan Ternate, Maluku. Sedangkan yang Kristen datang dari Ambon, Manado, dan Nusa Tenggara Timur.

Potensi SDA

Tanaman pala menjadi salah satu kekayaan sumber daya alam (SDA) Kabupaten Fakfak. Tumbuhan ini merupakan peninggalan Sultan Tidore (Ternate) sekitar tahun 1200-an atau sebelum Kolonial Belanda menginjakkan kaki di Papua. Tanaman rakyat ini dibawa penduduk Tidore (Ternate) yang berdomisili di Fakfak. Ada dua jenis pala, yakni pala Papua dan pala Banda yang berkembang di Fakfak. Pala diolah dalam berbagai keperluan.

Luas daerah kabupaten Fakfak 20.546 km2 terletak di bagian barat daya Papua, dengan letak sekitar 870 mil laut dari Kota Jayapura. Jumlah penduduk Fakfak pada tahun 2000 sebanyak 250.550 jiwa. Tingkat pendapatan asli daerah pada tahun 2000 adalah Rp 950 juta.

Sebagian besar penduduk adalah petani, nelayan, dan pedagang. Mayoritas agama yang dianut adalah 60 persen Muslim dan 40 persen Kristen. Mereka hidup berdampingan satu sama lain. Terdapat sejumlah peninggalan agama Islam yang sangat khas di daerah ini.

Fakfak adalah satu-satunya daerah kabupaten di Irjabar yang memiliki penduduk Muslim terbesar dibanding kabupaten lain. Kaum Muslim di Fakfak datang dari masa kesultanan Tidore dan Ternate yang berkuasa pada tahun 1200-1400.

Letak Kabupaten Fakfak persis berhadapan dengan wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate dan Tidore. (Yudhiarma/berbagai sumber)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=114999